Mati suri dikenal juga dengan istilah near death experience (NDE), secara ilmiah pengertian tentang kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu: somatic death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda tanda kehidupan seperti denyut jantung, gerakan pernafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifititas listrik otak pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam diantaranya dikenal sebagai fase mati suri (NDE).
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan seperti alat respirator (alat bantu nafas), seseorang yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator tersebut.
Tanda tanda kematian somatik selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat respirator tersebut dihentikan, maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian somatik lainnya. Walaupun tanda tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti pemindahan organ tubuh untuk transplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat perawatan yang memadai.
Jadi dengan demikian makin sulit seorang ilmuwan medik menentukan terjadinya kematian pada manusia. Apakah kematian somatik secara lengkap harus terlihat sebagai tanda penentu adanya kematian, atau cukup bila didapati salah satu dari tanda kematian somatik, seperti kematian batang otak saja, henti nafas saja atau henti detak jantung saja sudah dapat dipakai sebagai patokan penentuan kematian manusia. Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
Mendefinisikan mati ternyata tak kalah sulit dibanding menggali kematian itu sendiri. Arti mati bukan hanya tidak terasanya hembusan napas atau berhentinya detak jantung. Dr. Kartini Suryadi, SpAn(K), dari Bagian Anestesi FKUI-RSCM menjelaskan hal itu sebagai mati klinis. Istilah yang digunakan sebelum Resusitasi Jantung Paru (RJP) ini masih memungkinkan seseorang “hidup”kembali setelah suatu resusitasi.
Masih ada Istilah-istilah lain seperti mati biologis, mati sosial, dan mati jantung.
Pada mati biologis, sel-sel tubuh mengalami kerusakan ireversibel yang tidak selalu sama di setiap organ. Dapat dikatakan inilah kondisi mati sesungguhnya, karena tidak mungkin seseorang dalam keadaan ini dapat hidup kembali.
Di lain sisi, seseorang yang mengalami mati sosial belum dinyatakan mati. Namun otak mengalami kerusakan cukup besar dan pasien tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan. Terjadi suatu siklus kesadaran yang menurun: tidak sadar (koma), sadar, koma, terus berulang. Tingkat intelektualitas pun mundur layaknya seorang bayi.
Sedangkan keadaan mati jantung ditegakkan apabila jantung tetap tidak berdetak meski telah dilakukan RJP selama 30 menit selaku terapi optimal. Tidak terlihatnya kompleks QRS (asistol ventrikel yang “membandel” atau mitral table) pada pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) menjadi indikator.
Otak adalah pengendali utama seluruh fungsi tubuh. Andaikata jantung dan paru masih bekerja tetapi otak dinyatakan kehilangan fungsinya, maka seseorang dinyatakan mati. Meskipun demikian, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap memasukkan kondisi henti jantung dan henti napas yang ireversibel dalam pengertian mati.
Para ahli anestesi menyimpulkan indikator kematian seseorang terbagi menjadi dua. Pertama, tanda klinis mati otak, yaitu apabila telah dilakukan RJP dengan tahap-tahap Airway-Breathing-Circulation selama 15-30 menit pada seorang pasien de-wasa, namun ke-sadaran tetap tidak dapat pulih, tidak mampu bernapas spontan, serta tak adanya refleks gag (gerakan mulut/rahang) disertai dilatasi pupil. Yang kedua adalah mati jantung.
Mati otak dibedakan menjadi tiga macam, yaitu
* mati korteks (cerebral/cortical death),
* mati batang otak (MBO), dan
* mati seluruh otak (brain death).
Mati batang otak merupakan kondisi utama yang menunjukkan seseorang benar-benar telah mati.
Di Indonesia, MBO dijadikan patokan utama guna menyatakan suatu kematian, sedangkan di Jepang pernyataan kematian dikeluarkan hanya dalam kondisi brain death.
Selain itu, MBO tidak dapat diputuskan tanpa mempertimbangkan keadaan pra kondisi, yaitu koma, apnea, dan kemungkinan adanya kerusakan struktur otak ireversibel.
Di Intensive Care Unit (ICU) RSCM, uji MBO harus dilakukan oleh kedua dokter spesialis anestesi dan spesialis saraf (neurolog).
standar utama pada kematian batang otak dilihat dari keadaan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Sistem ini merupakan neuron aferen nonspesifik yang mengurus kesadaran dan sangat responsif terhadap segala rangsangan dari luar. Sistem ini penting untuk mempertahankan kehidupan. Pada MBO, tidak ada gambaran pulsasi yang terlihat pada hasil pemeriksaan menggunakan electroencephalo-graphy (EEG).
Terkadang beberapa keadaan dapat dijumpai menjelang kematian, di antaranya adalah suatu fase yang disebut sebagai koma. Pada fase ini, tak ada reaksi terhadap rangsang apapun namun reseptor tubuh masih berfungsi baik. Sehingga ia dapat mendengar, merasakan rabaan dan sebagainya.
Keadaan yang sering disebut “ambang kematian” (dying) ini tidak selalu kemudian menjadi mati. Pada beberapa kasus, mereka sadar kembali dan dapat hidup normal seperti sediakala. Ilustrasi pada awal tulisan dapat menggambarkan secara nyata kasus ini.
Satu hal yang pasti adalah, memasuki fase kematiannya, setiap manusia akan merasakan sakaratul maut.
Secara agama saya melihat mati suri adalah proses lepasnya nafs dari jasad sementara ruhnya sendiri masih melekat pada jasad.
Sebuah jasad tanpa roh maka jasad itu akan mati, tidak mampu bergerak tidak kuasa untuk menarik nafas dan dalam hitungan jam tubuhnya akan kaku karena darah berhenti mengalir. Orang yang sedang tidur bukan berarti roh yang ada didalam jasadnya sedang keluar, sebab bila demikian adanya berarti saat dia tidur maka dia seharusnya mati dalam pengertian yang sesungguhnya tapi kenyataannya saat seseorang tertidur, dia masih bisa bergerak membalikkan badan, jantungnya masih berdenyut, mulutnya masih bisa mengeluarkan suara mendengkur dan malah tidak jarang orang yang tidurpun bisa tiba-tiba tertawa ataupun menangis bahkan buang air kecil tanpa disadarinya, semua ini mengindikasikan kepada kita bahwa tidur bukanlah suatu keadaan dimana roh meninggalkan badan.
Oleh karena itulah saat menceritakan kisah ashabul kahfi, al-Qur’an menyebut mereka bukan dalam keadaan mati dimana roh penghuni jasadnya dicabut Allah tetapi disebut bahwa mereka sedang tidur dan ciri bahwa mereka tidur adalah tubuh mereka bergerak berbalik-balik.
Dan kamu mengira mereka itu sadar padahal mereka tidur ; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka melunjurkan dua kaki depannya dipintu gua. ; Jika kamu melihat mereka niscaya kamu akan berpaling dan lari dengan penuh ketakutan terhadap mereka. – Qs. 18 al-Kahf : 18
Kejadian ashabul kahfi yang tidur selama 309 tahun ini mungkin bisa dihubungkan juga dengan teori relativitasnya Einstein seperti yang pernah kita bahas dalam pembicaraan Isra’ Mi’raj Nabi, dimana objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya akan mengalami perlambatan waktu dengan objek yang memiliki kecepatan statis, tubuh para pemudia ashabul kahfi mungkin digetarkan oleh Allah molekul-molekulnya mendekati kecepatan cahaya sehingga tubuh mereka bergetar dan membalik-balik agar tahan terhadap perubahan waktu diluar gua yang berjalan lambat sehingga kita yang melihat mereka bagaikan melihat sinar yang berkilatan dan sesuai isi akhir ayat ini kejadian tersebut pasti akan membuat kita lari ketakutan; Bukti dari kebenaran teori ini adalah usia mereka ketika bangun sama seperti saat mereka tidur padahal waktu yang berjalan diluar gua sudah berlalu 309 tahun.
Dengan demikian roh itu bisa kita ibaratkan sebagai energi listrik yang mengisi baterai pada sebuah ponsel yang membuatnya bisa hidup dan mengadakan komunikasi secara wajar. Roh adalah energi kehidupan, dia adalah listrik pembangkit sumber daya bagi semua makhluk Allah. Manakala listrik ini mati, maka akan hilanglah kehidupan, meskipun perangkat televisi masih tetap ada, provider jaringan masih tetap eksis dan ponsel masih dalam keadaan layak pakai, tetapi tanpa keberadaan energi listrik yang mengisinya maka semua menjadi tidak berguna. Jasad yang masih muda, segar tanpa cacat tidak akan bisa melakukan aktifitas apapun walau hanya untuk menarik nafas dalam hitungan milidetik bila roh sudah meninggalkannya.
Allah mewafatkan nafs pada saat kematiannya, dan nafs orang-orang yang belum mati didalam tidurnya, maka Allah yumsik (menahan) nafs yang sudah ditetapkan baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu – Qs. 39 az-Zumar : 42
Ayat diatas ini menceritakan seputar kekuasaan Allah terhadap diri manusia yang mampu membiarkan seseorang tetap hidup ataupun menentukan kapan dia harus mati. Menariknya ayat tersebut telah memperkenalkan istilah Nafs yang oleh sebagian besar ahli tafsir diterjemahkan dengan kata jiwa ataupun nyawa.
Inti ayat ini bahwa orang tidur pada dasarnya rohnya tetap ada, bisa dibuktikan dengan gerakan, igauan maupun helaan napas. Pada kondisi ini Nafs yang bersangkutan dibiarkan lepas kealam imajinasi, alam bawah sadar atau juga sebuah alam metafisika terlepas dari jasad phisiknya yang sedang berbaring untuk menjalani berbagai pengalaman melalui mimpi-mimpinya.; Bahkan kemampuan orang-orang yang melatih ilmu proyeksi astral (meraga sukma) tidak lain dari perbuatan yang dilakukan dalam rangka melepaskan Nafsnya dari tubuh kasarnya.
Sebaliknya Nafs yang sudah diwafatkan oleh Allah berarti Nafs yang bersangkutan sudah ditahan oleh Allah untuk tidak dapat lagi melakukan petualangan dialam bawah sadar melalui mimpi-mimpinya maupun juga melalui proyeksi astral secara sengaja. Proses pembatasan Nafs ini ditandai dengan dihilangkannya roh yang berfungsi membangkitkan kehidupan bagi jasad dan Nafs.
Karena itulah kita tegaskan lagi bahwa dongeng arwah gentayangan maupun roh penasaran tidaklah bisa dibenarkan, semua itu hanyalah tipu muslihat dari Jin yang sudah menjadi bawahan Iblis. Semua suara yang keluar dari benda mati, suara tanpa wujud sampai pada fenomena penampakan tidak lebih dari perbuatan setan yang ingin menyesatkan pemahaman manusia dari jalan Tuhannya.
Orang yang sudah wafat selamanya tidak akan pernah bisa kembali dalam kehidupan nyata didunia, masanya untuk berkiprah melangsungkan kegiatan duniawi sudah berakhir, roh suci yang menjadi energi pembangkit kehidupan sudah hilang kembali kepada Allah. Tanpa roh, nafs tidak akan mampu menggerakkan jasadnya, tanpa roh nafs akan menjadi terhalang kembali kealam duniawi.
Jika Nafs mampu bergentayangan selepas kematian jasadnya, tentu keseimbangan alam semesta ini akan rusak binasa, jutaan nafs yang kehilangan tubuh materilnya dari jaman kejaman akan berebut merasuki semua tubuh makhluk hidup dan mengusir nafs yang menghuni jasad tersebut. Sungguh akan menjadi lelucon paling lucu yang pernah ada. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal istilah reinkarnasi maupun penitisan sebagaimana yang bisa dijumpai pada beberapa agama bumi. Kitab suci al-Qur’an jelas mengatakan bahwa antara orang yang sudah wafat dengan orang yang masih hidup didunia ini tidak akan bisa saling mencampuri lagi karena diantara mereka ada batasan yang disebut barzakh.
Hingga apabila datang maut kepada seseorang dari mereka, ia berkata : Ya Tuhanku … kembalikanlah aku kedunia, supaya aku berbuat baik dalam urusan yang telah aku sia-siakan sebelumnya.; Tidak sekali-kali !!! Sesungguhnya yang demikian itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja, padahal diantara mereka (dan dunia) ada dinding (barzakh) sampai mereka dibangkitkan. — Qs. 23 al-Mu’minun : 99 – 100
Ruh selamanya akan tetap suci tak bernoda, sebaliknya Nafs kitalah yang kelak akan mempertanggung jawabkan semua kelakuannya semasa hidup hingga kematian menjemput dihadapan Allah dihari akhir.
Wahai, Nafs yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan keadaan ridho dan diridhoi; bergabunglah kedalam kelompok hamba-hambaKu lalu masuklah kedalam syurga-Ku – Qs. 89 al-Fajr : 27-30
Dan Nafs serta yang menyempurnakannya, lalu mengilhamkan kepadanya jalan kesesatan dan jalan kebenaran; maka berbahagialah orang yang membersihkan (Nafs) tersebut serta celakalah orang yang mengotorinya. – Qs. 91 asy-Syams : 7-10
4 komentar:
wah keren kan
wah keren
terima kasih my friends....
Para psikolog yang meninjau berbagai fenomena seperti pengalaman keluar dari tubuh, penglihatan terowongan cahaya atau pertemuan dengan kerabat yang sudah mati, menyatakan bahwa itu semua hanyalah tipuan pikiran, bukan kilasan pengalaman di akhirat.
Para peneliti di Universitas Edinburgh dan Cambridge menyebutkan bahwa sebagian besar pengalaman tersebut dapat dijelaskan dengan adanya reaksi di otak yang dipicu oleh peristiwa-peristiwa traumatis dan terkadang tidak berbahaya.
Mereka menyebutkan bahwa banyak pengalaman mati suri yang umum dapat disebabkan oleh upaya otak untuk membuat rasa sensasi dan persepsi yang tidak biasa yang terjadi selama peristiwa traumatis.
Pengalaman di luar tubuh, misalnya, dapat terjadi ketika adanya gangguan dalam proses multi-sensori otak, lalu penglihatan terowongan dan cahaya terang bisa berasal dari gangguan dalam sistem visual otak yang diakibatkan berkurangnya oksigen.
Studi baru ini juga menunjukkan efek dari noradrenalin, suatu hormon yang dilepaskan oleh otak tengah yang, bila dipicu, bisa membangkitkan emosi positif, halusinasi dan fitur-fitur lain yang berkaitan dengan pengalaman mati suri.
Berdasarkan sebuah jajak pendapat Gallup, sekitar tiga persen penduduk AS mengaku pernah memiliki pengalaman menjelang kematian. Pengalaman mati suri dilaporkan di seluruh budaya dan dapat ditemukan pula dalam literatur di zaman Yunani kuno.
“Beberapa studi yang kami tinjau menunjukkan bahwa banyak orang yang mengalami pengalaman menjelang kematian tidak benar-benar berada dalam bahaya kematian, meskipun sebagian besar mengira demikian. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa semua aspek dari pengalaman mati suri memiliki dasar biologis,” kata Caroline Watt, dari Sekolah Ilmu Filsafat, Psikologi dan Bahasa.
Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Trends in Cognitive Sciences
Posting Komentar